Seorang akhwat menangis di walimatul ursy

Sebuah kisah nyata....
(diambil dari catatan Ihsan Budi Santoso)

Walimatul Ursy ini milik dua orang mantan teman kuliah saya.

Saya kebetulan diminta jadi seksi sibuk…… jadi merupakan bagian dari tugas saya untuk memperhatikan tamu-tamu yang datang, siapa tahu ada yang belum di”servis”.

Saat itulah saya melihat wanita itu. Duduk terpencil sendirian di ujung deretan kursi paling belakang.

Dia hanya duduk diam, tak bicara dengan siapapun dan terus menatap pengantin wanita di ujung lain ruangan dengan tatapan kosong.

Mukanya yang pucat, membuat saya tergerak untuk mendekatinya, saya khawatir dia sakit.

Saya duduk dikursi di sampingnya. Dari dekat terlihat matanya yang merah dan samar-samar alur bekas air mata di pipinya.

“Assalamu ’alaikum” sapa saya mencoba memulai percakapan.

“Wa’alaikum salam” dia menjawab dengan suara serak dan agak bergetar.


Dia tak berusaha memandang saya, bahkan justru sedikit berpaling ke arah lain. Saya maklum, mungkin dia berusaha menyembunyikan bekas-bekas tangisan di wajahnya.

“Ukhti kelihatan pucat, apa ukhti sakit ? saya ambilkan teh hangat ya ?” tanya saya lagi.

“Saya tidak apa-apa” jawabnya singkat. Masih belum mau memandang saya.

“Eh, Ukhti belom nyoba makanannya ya ? Satenya enak lho….. capcay-nya juga” kata saya lagi mencoba mencairkan suasana.


Tapi tiba-tiba dia justru menangis….. lumayan kenceng pula. Duh, saya jadi agak panik. Akhirnya, supaya tidak menarik perhatian tamu-tamu lain, saya ajak dia masuk ke salah satu kamar di rumah teman saya itu.

Setelah tangisnya reda, saya sodorkan sebotol air mineral dan menyuruhnya minum. Sampai beberapa saat kami hanya berdiam diri. Saya hanya duduk menemaninya. Memikirkan namun sengaja tidak menanyakan apa-apa padanya. Saya yakin, kalau dia memang ingin cerita tanpa saya tanya pun dia akan cerita.

Saya sedang agak-agak melamun ketika tiba-tiba dia berkata

“Maaf, rasanya kita belum berkenalan. Nama saya Lusi. Terima kasih sudah membantu saya”

Agak kaget saya menoleh dan menyambut uluran tangannya “Ana” jawab saya singkat.

”Ukhti keluarga atau temennya pengantin pria atau wanita ?” lanjutnya

“Saya bekas temen kuliah mereka berdua. Kalau Ukhti ?” saya balik bertanya.


Lalu mengalirlah cerita yang menjawab semua tanda tanya dibenak saya selama hampir satu jam terakhir ini.

Ternyata, dia dan pengatin pria pernah pacaran selama setahun di SMA. Mereka putus karena si pengantin pria menyadari bahwa pacaran itu bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Si wanita masih mencintai si pria, si pria juga menyatakan hal yang sama, namun keputusan si pria sudah tidak bisa diubah lagi.

Setelah lulus SMA, si wanita menawarkan pernikahan tapi si pria mengatakan belum siap dan masih ingin meneruskan sekolah, baru setelah lulus dan bekerja dia mau memikirkan pernikahan.

Si wanita mengatakan akan menunggu sampai mereka sama-sama selesai kuliah dan bekerja.

Si pria tidak melarang, hanya mengatakan “terserah”.

Sejak itu mereka hampir tidak pernah berkomunikasi lagi. Dalam kesempatan yang sangat jarang melalui telepon atau pertemuan tanpa sengaja mereka hanya ngobrol “biasa” tak menyinggung sedikitpun tentang pernikahan.

Tapi sikap dan tutur kata si pria seperti memberi harapan bagi si wanita untuk terus menunggu. Namun tiba-tiba si wanita mendengar kabar bahwa si pria akan menikah.

Karenanya dia memaksa datang meskipun tidak diundang. Dia ingin mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan yang memberati kepalanya.

Setelah bercerita dia menangis lagi. Bagian depan jilbabnya sudah basah kuyub saat itu, namun saya biarkan saja dia melampiaskan kesedihan dan rasa kecewanya melalui airmatanya.

“Kalau dia memang tidak mau menikah dengan saya, kenapa nggak dari dulu dia bilang kepada saya. Kenapa dia membiarkan saya menunggunya selama enam tahun hanya untuk melihatnya menikah dengan wanita lain ? Kenapa dia selalu memberikan nasehat dan mengirimkan buku-buku yang menurutnya perlu saya baca bila akhirnya dia mencampakkan saya ?” ucapnya seperti menggugat di sela-sela isakan.


Saya hanya seorang wanita pula, bukan pria itu, saya tak mungkin tahu apa jawaban pertanyaan-pertanyaan itu. Jadi saya katakan semua hal-hal klise tentang jodoh, cobaan dan ketabahan, meskipun saya yakin dia juga sudah faham semua itu.

Setengah jam kemudian dia menuntaskan tangisnya dan ingin berpamitan. Saya tidak tahu apa saat itu dia sudah mendapatkan apa yang dia inginkan saat memutuskan untuk datang ke walimatul ursy ini atau hanya sekedar menguburkan keinginannya dalam-dalam, tapi saya antarkan juga dia untuk berpamitan kepada pasangan pengantin lalu berjalan bersamanya sampai ke pintu pagar dimana kami berjabat tangan dan saling mengucapkan salam perpisahan.

______________________________________________________________


Catatan ! :

Kalau ada seseorang (wanita atau pria) yang menawarkan pernikahan kepada anda, katakan tidak bila anda memang benar-benar tidak ingin menikahinya.

Tidak sekarang dan tidak kapanpun.

Jangan pernah menjebaknya dalam penantian dan ketidakpastian hanya karena dalam hati anda terbersit keinginan :

“Kalau ada yang lebih baik, saya tidak akan ambil dia, toh saya tidak pernah berjanji apa-apa. Tapi kalau tidak ada yang lebih baik saya akan ambil dia, daripada tidak ada sama sekali. Sementara ini, akan saya biarkan saja dia menunggu”.


Itu bukan saja tidak adil, tapi juga sangat kejam. Karena bisa saja pada saat anda melepaskannya, dia sudah kehilangan kesempatan sekali seumur hidup baginya untuk menikah.

Maka, jika ada seseorang (wanita atau pria) yang mengatakan tegas tidak bisa menikah dengan Anda, meski itu berat, terimalah dengan sabar dan syukur, karena kepastian itu lebih baik daripada terjebak dalam penantian dan ketidakpastian yang dapat membuatmu terluka lebih dalam.

Jika Anda sedang dalam hubungan yang tidak ada kepastian, maka sebelum Anda lebih jauh menyia-nyiakan waktu dan pengorbanan Anda, carilah kepastian itu. Mau dibawa kemana ... ?

Semoga dari kisah ini bisa di dapatkan pelajaran yang sangat berharga terutama bagi para ikhwan dan akhwat yang belum menikah.

Comments

Popular Posts